aa

aa

Senin, 14 November 2016

ERA INDUSTRI FARMASI



PENGANTAR ILMU FARMASI

Dosen:
Herda Ariyani, M.Farm, Apt.


ERA INDUSTRI FARMASI
KELOMPOK 7 :


BIMA WAHYUDA                       (1648201110009)
NOOR HILDA YANTI                 (1648201110034)
PAHRIAH                                    (1648201110037)
RINI MAULIDA                           (1648201110042)
RISA ARMAIDA                          (1648201110043)
SYAFINAH WAHDAH                 (1648201110047)


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
BANJARMASIN
2016
ERA INDUSTRI FARMASI


A.     ERA INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA

Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co. pada tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.
            Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan usai perusahaan-perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma (persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat ini menjadi PT Indofarma (persero).Namun demikian, perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia hingga saat ini.
Pasar farmasi Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN. Ke depan pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indonesia berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic.
Dengan makin membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan Indonesia di masa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar. Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industri farmasi Indonesia di masa mendatang.
(Priyambodo, 2007).

B.      APOTEKER DALAM FARMASI INDUSTRI

Produksi
Bagian produksi bertugas untuk menjalankan proses produksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan sesuai dengan ketentuan CPOB dan CGMP terbaru dan harus selalu update karena obat merupakan komoditi yang memerlukan perlakuan khusus dari mulai bahan baku sampai pengemasan obat.

Pengawasan mutu (QC)
Bagian pengawasan mutu (QC) bertanggung jawab penuh dalam seluruh tugas pengawasan mutu mulai dari bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi.

Pemastian mutu (QA)
Bagian pemastian mutu (QA) bertugas untuk memverifikasi seluruh pelaksanaan proses produksi, pemastian pemenuhan persyaratan seluruh sarana penunjang produksi, dan pelulusan produk jadi. Dalam hal ini, pemastian mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan, seperti personel, sanitasi dan higiene, bangunan, sarana penunjang, dan lain-lain.

Penelitian dan pengembangan (Research & Development/R&D)
Di bagian penelitian dan pengembangan, baik untuk obat baru ataupun me too product, farmasis atau apoteker berperan dalam menentukan formula, teknik pembuatan, dan menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan, produk antara, dan produk jadi. Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala pilot, hingga skala produksi. Di beberapa industri, bagian pengembangan produk juga bertanggung jawab terhadap desain kemasan produk.

PPIC (Production Planning and Inventory Control)
Bagian ini bertugas merencanakan produksi dan mengendalikan keseimbangan antara persediaan dengan permintaan sehingga tidak terjadi overstock maupun understock. Bagian PPIC ini biasanya juga bergabung dengan bagian gudang (gudang bahan baku, bahan kemas, dan produk jadi) dan dikepalai oleh seorang Apoteker.


Pembelian (Purchasing)
Bagian pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan baik untuk proses produksi, proses penelitian dan pengembangan produk, maupun untuk pengujian-pengujian yang dilakukan QC. Kepala atau manager pembelian sebaiknya seorang apoteker karena apotekerlah yang mengetahui tentang bahan baku dan bahan kemas itu sendiri beserta dokumen-dokumen penyertanya sehingga perusahaan tidak salah memilih atau tertipu oleh supplier (pemasok bahan baku atau bahan kemas).

Registrasi
Dalam registrasi obat ke Badan POM diperlukan dokumen-dokumen yang harus disiapkan, seperti dokumen bahan aktif, formula, proses pembuatan, data uji disolusi terbanding, data uji stabilitas, BA/BE dan lain-lain. Data-data tersebut yang mengerti adalah seorang farmasis.

Promosi obat kepada tenaga profesional lain (medical representative)
Apoteker dapat mempromosikan obat kepada tenaga profesional lain seperti kepada dokter karena apotekerlah yang paling mengerti tentang obat sehingga dapat menjelaskan keunggulan produk yang ditawarkannya dari sisi ilmiah. Industri farmasi sekelas novartis dan pfizer mengharuskan seorang medical representatifnya minimal seorang sarjana farmasi bukan sarjana diluar farmasi dan apoteker.
(Badan POM, 2006).

C.     SEJARAH FARMASI DUNIA
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendiagnosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama. Dampak revolusi industri menambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat = (apotek). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1997) dalam “informasi jabatan untuk standar kompetensi kerja” menyebutkan jabatan Ahli Teknik Kimia Farmasi, (yang tergolong sektor kesehatan) bagi jabatan yang berhubungan erat dengan obat-obatan, dengan persyaratan : Pendidikan Sarjana Teknik Farmasi.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang
menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi
dan penggunaan.

Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa :
1. Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep
rasional. Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter.
2. Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal produk/produksi obat
yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam
bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang
berpengalaman.
3. Pharmacist lah yang merupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah. Penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irasional.
(Anonim).







DAFTAR PUSTAKA

Priyambodo. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Hal: 30-35
(20 Oktober 2016).
Badan POM. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta
(29 Oktober 2016).
(diakses tanggal 29 Oktober 2016).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar