PENGANTAR ILMU
FARMASI
Dosen:
Herda
Ariyani, M.Farm, Apt.
ERA INDUSTRI FARMASI
KELOMPOK 7 :
BIMA WAHYUDA (1648201110009)
NOOR HILDA YANTI (1648201110034)
PAHRIAH (1648201110037)
RINI MAULIDA (1648201110042)
RISA ARMAIDA (1648201110043)
SYAFINAH WAHDAH (1648201110047)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
BANJARMASIN
2016
ERA INDUSTRI FARMASI
A.
ERA INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA
Sejarah
industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama
yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp
& Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co. pada
tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di Indonesia adalah
pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.
Perkembangan
selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan
usai perusahaan-perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche
Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang
memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada
perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma (persero). Sementara pabrik
pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri
pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat ini menjadi PT Indofarma
(persero).Namun demikian, perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan
industri farmasi di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman
Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi
Indonesia hingga saat ini.
Pasar farmasi
Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN. Ke depan pasar farmasi
Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat
konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN.
Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya disebabkan karena
rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indonesia berbeda dengan di
negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola penggunaan obat lebih
mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan
harga obat branded generic.
Dengan makin
membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan Indonesia di masa
mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar. Keadaan ini tentu
akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industri farmasi Indonesia di
masa mendatang.
(Priyambodo, 2007).
B.
APOTEKER DALAM FARMASI INDUSTRI
Produksi
Bagian produksi
bertugas untuk menjalankan proses produksi sesuai prosedur yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan ketentuan CPOB dan CGMP terbaru dan harus selalu
update karena obat merupakan komoditi yang memerlukan perlakuan khusus dari
mulai bahan baku sampai pengemasan obat.
Pengawasan mutu (QC)
Bagian
pengawasan mutu (QC) bertanggung jawab penuh dalam seluruh tugas pengawasan
mutu mulai dari bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi.
Pemastian mutu (QA)
Bagian
pemastian mutu (QA) bertugas untuk memverifikasi seluruh pelaksanaan proses
produksi, pemastian pemenuhan persyaratan seluruh sarana penunjang produksi,
dan pelulusan produk jadi. Dalam hal ini, pemastian mutu adalah suatu konsep
luas yang mencakup semua hal yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang
dihasilkan, seperti personel, sanitasi dan higiene, bangunan, sarana penunjang,
dan lain-lain.
Penelitian dan pengembangan
(Research & Development/R&D)
Di bagian
penelitian dan pengembangan, baik untuk obat baru ataupun me too product,
farmasis atau apoteker berperan dalam menentukan formula, teknik pembuatan, dan
menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan, produk antara, dan produk
jadi. Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala
pilot, hingga skala produksi. Di beberapa industri, bagian pengembangan produk
juga bertanggung jawab terhadap desain kemasan produk.
PPIC (Production Planning and
Inventory Control)
Bagian ini bertugas
merencanakan produksi dan mengendalikan keseimbangan antara persediaan dengan
permintaan sehingga tidak terjadi overstock maupun understock. Bagian PPIC ini
biasanya juga bergabung dengan bagian gudang (gudang bahan baku, bahan kemas,
dan produk jadi) dan dikepalai oleh seorang Apoteker.
Pembelian (Purchasing)
Bagian
pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan baik
untuk proses produksi, proses penelitian dan pengembangan produk, maupun untuk
pengujian-pengujian yang dilakukan QC. Kepala atau manager pembelian sebaiknya
seorang apoteker karena apotekerlah yang mengetahui tentang bahan baku dan
bahan kemas itu sendiri beserta dokumen-dokumen penyertanya sehingga perusahaan
tidak salah memilih atau tertipu oleh supplier (pemasok bahan baku atau bahan
kemas).
Registrasi
Dalam
registrasi obat ke Badan POM diperlukan dokumen-dokumen yang harus disiapkan,
seperti dokumen bahan aktif, formula, proses pembuatan, data uji disolusi
terbanding, data uji stabilitas, BA/BE dan lain-lain. Data-data tersebut yang
mengerti adalah seorang farmasis.
Promosi obat kepada tenaga
profesional lain (medical representative)
Apoteker dapat
mempromosikan obat kepada tenaga profesional lain seperti kepada dokter karena
apotekerlah yang paling mengerti tentang obat sehingga dapat menjelaskan
keunggulan produk yang ditawarkannya dari sisi ilmiah. Industri farmasi sekelas
novartis dan pfizer mengharuskan seorang medical representatifnya minimal
seorang sarjana farmasi bukan sarjana diluar farmasi dan apoteker.
(Badan POM,
2006).
C.
SEJARAH FARMASI DUNIA
Sejak masa
Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum
dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendiagnosis penyakit, juga
sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama
masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya,
sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja
Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan
Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu
hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran
adalah sama. Dampak revolusi industri menambah dunia farmasi dengan timbulnya
industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang
industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat = (apotek). Dalam hal ini
keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada
apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat. Pendidikan
farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu
menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan.
Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan
obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas
profesinya. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan
teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan
sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke
arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya
dalam melaksanakan tugas profesinya.
Departemen
Tenaga Kerja Republik Indonesia (1997) dalam “informasi jabatan untuk standar
kompetensi kerja” menyebutkan jabatan Ahli Teknik Kimia Farmasi, (yang
tergolong sektor kesehatan) bagi jabatan yang berhubungan erat dengan
obat-obatan, dengan persyaratan : Pendidikan Sarjana Teknik Farmasi.
Buku
Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang
menyangkut semua aspek obat,
meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi
dan penggunaan.
Silverman dan Lee (1974) dalam
bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa :
1. Pharmacist lah yang memegang
peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep
rasional. Membantu melihat bahwa
obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien
tahu mengenai “bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa
resep dokter.
2. Pharmacist lah yang sangat handal
dan terlatih serta pakar dalam hal produk/produksi obat
yang memiliki kesempatan yang paling
besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam
bidang obat, yang dapat melayani
baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang
berpengalaman.
3. Pharmacist lah yang merupakan
posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah. Penyalahgunaan obat dan
penulisan resep yang irasional.
(Anonim).
DAFTAR
PUSTAKA
Priyambodo.
2007. Manajemen Farmasi Industri.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Hal: 30-35
(20
Oktober 2016).
Badan
POM. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik. Jakarta
(29
Oktober 2016).
(diakses
tanggal 29 Oktober 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar